Senin, 30 April 2018


                                                                          
nama : septia ningrum
npm   : 26216922
kelas  : 2EB05

                                                                         MONOPOLI

        sebelum kita bahas tentang negara yang menganut anti-monopoli ,kita bahas pengertian monopoli itu sendiri. 
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis".Sebagai penentu harga (price maker) seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi semakin sedikit barang yang diproduksi semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal maka orang akan menunda  pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti  produk tersebut)

Tujuan
undang undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaru kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting copettion dan memperkuat kedaulatan konsumen.

salah satu negara yang memberlakukan anti-monopoli adalah jerman,

Jerman  Sejak  tahun  1909,  Jerman  telah  memiliki  Gesetz  gegen  Lauteren  Wettbewerb UWG  (Undang-undang  Melawan  Persaingan  Tidak  Sehat).  Namun  sejak  selesainya Perang Dunia II dimana Negara Jerman terbagi menjadi 2 yaitu Jerman Barat dan Timur
22     yang  berbeda  system  ekonominya,  maka  UU  tersebut  tidak  relevan  lagi.  Di  Jerman Timur  yang  menganut  system  ekonomi  sosialis  dimana  perekonomian  disusun  dan dilaksanakan  secara  terpusat  oleh  Pemerintah  maka  UU  anti-monopoli  menjadi  tidak relevan,  sebaliknya  di  Jerman  Barat  yang  system  ekonominya  berorientasi  pasar emskipun dijalankan dengan system sosialis tetap diperlukan UU anti-monopoli. Dengan alasan  itu  parlemen  (Bundestag)  menyetujui  diundangkannya  Gesetz  gegen Wettbewerbsbescrankungen  (UU Perlindungan  Persaingan)  yang lebih dikenal dengan sebutan Kartel Act.   


Perkembangan Historis Persaingan Usaha di Eropa (Jerman dan EC)
Hukum anti-monopoli Jerman disamping diterapkan terhadap kasus-kasus hambatan persaingan yang timbul di Jerman, juga terhadap kasus-kasus di luar negeri yang menimbulkan hambatan persaingan di Jerman. Dalam perkembangannya, Lembaga Antimopoli di Jerman dalam memeriksa kasus-kasus yang terjadi di luar negeri menerapkan hukum Anti Monopoli Eropa dalam memeriksa kasus-kasus tersebut. Sedangkan Hukum anti-monopoli Jerman diterapkan bagi kasus-kasus yang terjadi di Jerman saja.
Digunakannya dua sistem hukum yang berbeda tersebut menyebabkan timbulnya apa yang disebut “diskriminasi hukum”, mengingat hukum anti-monopoli Jerman cenderung lebih ketat (dengan hukuman denda yang lebih tinggi) dibandingkan dengan hukum anti-monopoli Eropa. Dalam Undang-undang Jerman semua jenis perjanjian kartel dilarang, kecuali untuk pengadaan barang dan jasa yang harus diajukan sebelumnya kepada lembaga anti-monopoli untuk mendapatkan persetujuan. Pengecualian lain baik di sistem hukum Jerman atau Eropa maupun AS adalah penerapan “rules of reason”, yaitu bila keuntungan yang ditimbulkan lebih besar daripada hambatan persaingan yang ditimbulkan.
Sejarahnya, Undang-undang anti-monopoli Jerman diterapkan setelah adanya tekanan dari pihak luar, khususnya setelah perang dunia kedua dimana penerapan hukum anti-monopoli ini sebagai persyaratan mengalirnya bantuan pembangunan, khususnya dari AS. Dalam sejarahnya, situasinya sangat berlainan dimana tahun 1897 MA Kerajaan Jerman pernah memberikan putusan yang menyatakan bahwa secara umum perjanjian kartel dibolehkan.
Tahun 1923 baru ada peraturan mengenai kartel yang melarang penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menghambat persaingan usaha, namun pada prakteknya peraturan tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan pada masa pemerintahan Nazi, perusahaan didorong untuk membentuk kartel (dipaksa untuk merger). Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1947 atas perintah sekutu, di Jerman dilaksanakan dekartelisasi dan pada tahun 1957 diberlakukan Undang-undang anti-monopoli Jerman. Yang isinya antara lain:
Perjanjian kartel secara umum dilarang.
Larangan penyalahgunaan posisi dominan.
Pemberlakuan Undang-undang ini mendapat tentangan dari kalangan pelaku usaha, asosiasi, pelobby yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut “izin menteri”, suatu instrumen yang sangat kontroversial yang dapat mengabaikan “warning” dari komisi anti-monopoli. “Izin menteri” ini diterapkan dalam kartel yang bersifat spesifik, meskipun demikian, kontrol tetap dijalankan dengan prinsip mencegah adanya dominasi pasar. Dalam hal ini, pelaku ekonomi harus membuktikan bahwa perjanjian yang dilakukan tidak akan menyebabkan timbulnya hambatan persaingan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap produk cetak/penerbitan. Namun demikian produsen tidak diperbolehkan menentukan harga jual dan hanya diperbolehkan memberikan rekomendasi harga, “izin menteri” ini diajukan kepada Menteri Urusan Ekonomi dengan mempertimbangkan bahwa keuntungan yang timbul dari perjanjian merger tersebut lebih besar dari hambatan yang ditimbulkan serta tidak membahayakan ekonomi pasar.
Dalam sektor energi, terdapat pihak yang merasa terhambat usahanya karena adanya “izin menteri” tersebut. Keberatan diajukan ke pengadilan tinggi di Düsseldorf. Pengadilan memeriksa prosedural dari pemberian “izin menteri” dan bukan memeriksa perjanjian merger (pokok perkaranya). Pada tahun 1990, hampir semua pengecualian ini dicabut, seperti sektor telekomunikasi dan pos, kecuali sektor olah-raga. Namun diperkirakan sektor olah-raga ini nantinya akan dicabut juga agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan Uni Eropa. Perkembangan terakhir adalah bahwa pelaku usaha diberikan keleluasaan untuk menilai sendiri apakah perjanjian yang dilakukan mengarah kepada monopoli atau tidak. Keberatan terhadap suatu perjanjian kartel atau posisi dominan suatu usaha dapat diajukan ke lembaga anti-monopoli.

SUMBER : 




Senin, 09 April 2018





CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN


INDOMIE DI TAIWAN
          Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
         Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
      A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
     Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
     Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Analisis kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

       Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.
Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.

    Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.

Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:

  • Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  • Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  • Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  • Pasal 7  ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
        Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.
Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut.
     Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.
Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali. Berarti kan (Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.



SOLUSI :
Mengenai zat pengawet yang dilarang di Taiwan tersebut alangkah lebih baik jika produsen indomie yaitu PT.Indofood menyesuikan dengan Taiwan dengan tujuan sesuai dengan asas keselamatan konsumen dan pasal 7(b) UU PK.dan tentu saja agar exspor tetap berlangsung karena komoditi yang besar

Dijelaskan, Indomie sangat disukai di Taiwan, terutama warga Indonesia di Taiwan karena mudah didapat, enak, dan harganya murah.”Sehingga bagi eksportir pun pengiriman mi instant ke Taiwan merupakan komoditas besar dan untung besar, dimana rata-rata harganya 50 NT$ (New Taiwan Dollar) untuk 7 bungkus Indomie.
Sebaiknya untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan tidak melupakan asas manfaat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.




Sumber: